Ahem!
Bukan cerita, fiksi, dan sebagai-bagainya. Sebenarnya saya cuma sekedar pamer (dan melas) aja, soalnya FictionPress nggak bisa diharapkan, saya belum dapet akun AO3 (akibat email masuk di saat sibuk), dan blog ini sama sepinya... uhuk.
Jadi saya buat akun Wattpad!! (terus...?)
Sebenarnya saya sanksi juga, dengan temen-temen saya yang kebanyakan nggak pakai bahasa saya, dan saya nggak bisa pakai bahasa mereka secara aktif, saya nggak ngerti gimana cara mereka bisa menemukan cerita saya. Bagi yang nemu pun nahas banget mereka (lho)
Jadi inilah akun Wattpad tersebut! Lengkap dengan foto yang sama sekali bukan bikinan saya lol. Tolong dibaca yaaa nggak usah nge-follow pun nggak apa-apa yang penting dibaca huhuhu, sedih banget jadi saya...
DollMe: The Story Teller of Fiction
Di sebuah penceritaan, terdapat sang Pendengar...
Sabtu, 27 Februari 2016
Sabtu, 14 November 2015
I Love You Beyond The Hell and Back
"Aku tidak tahu kalian akan percaya atau tidak, tapi aku telah mengalaminya; sejak beberapa bulan yang lalu, hingga saat ini."
Aku menghela nafas sejenak, kemudian kembali menulis di jurnal yang telah diberikan oleh Söh, seorang psikiater teman baikku. Dimulai dari minggu lalu, ia memberikan buku catatan bercorak merah ini—ia bilang untuk menjagaku tetap waras.
Dan dia berhasil.
Setidaknya, setelah pulang dari pekerjaanku yang melelahkan ke apartemen yang baru kutempati awal tahun ini, aku tetap waras. Aku bisa membedakan mana manusia dan mana yang bukan manusia, jika itu yang kau ingin tahu maksudku.
Oh, kau masih ingin tahu kenapa aku harus tetap waras dan apa hubungan kewarasanku dengan apartemen baruku?
Sebenarnya, kupikir ini hanyalah apartemen biasa yang memiliki tiga ruang: ruang depan sekaligus ruang tamu, dapur, dan kamar dengan kamar mandi serta toilet yang cozy dan berharga murah. Ditambah dengan balkon dimana aku bisa memelihara beberapa pot tanaman hias, aku jatuh cinta dengan apartemen ini setengah mati.
Tapi kemudian aku bermimpi. Seorang laki-laki berambut pirang. Hampir tiap malam, laki-laki ini muncul di mimpiku—sejak aku menghuni apartemen ini. Laki-laki ini sebenarnya ramah, dan ia sering sekali memamerkan senyum lebarnya yang membuat setengah kaum hawa di dunia mimisan. Dan itu mengartikan bahwa dia tampan.
Belum lagi, dia selalu saja mengajakku mengobrol tentang berbagai macam hal. Pertama kalinya dia muncul di mimpiku, dia bahkan bertanya mengenai kesulitan pekerjaanku yang begitu mengena di hati. Seolah-olah saja dia tahu detail kesulitan yang kuhadapi, dan aku tentu merasa sangat nyaman pada orang yang 'pengertian' ini. Aku tidak munafik, dan meskipun ia hanya sesosok dalam mimpi, dia telah begitu menyita perhatianku. Laki-laki jangkung dengan perawakan bak atlet ini begitu telaten, dan tahu segala solusi dari problematika hidupku.
Tapi kemudian keadaan di apartemenku mulai aneh.
Awalnya hanya benda-benda kecil yang menghilang, kemudian muncul lagi di tempat yang berbeda setelah beberapa waktu aku mencarinya, dan aku mengira itu hanyalah kealpaanku saja seperti sebelumnya. Tapi kemudian aku mendapati kalau benda-benda itu muncul di saat aku benar-benar membutuhkannya, dan di tempat yang berada dalam wilayah jangkauan mataku. Ini membuatku mengira-ngira kalau benda-benda itu muncul begitu saja dari ketiadaan di saat yang tepat.
Tapi kemudian ponselku menghilang di saat seorang rekan kerja yang tengah melakukan pendekatan padaku menelepon atau mengirim email; dan muncul di saat aku harus menghubungi kawan atau atasanku di kantor. Dan tak lama setelah benda-benda yang menghilang itu, terkadang aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Aku bahkan bisa mencium aroma bunga mawar segar, seolah apapun itu yang berada di apartemenku tengah berusaha membuatku nyaman. Tapi tentu saja tidak ada seorang manusia pun yang nyaman dengan bau-bauan tanpa sebab ini!
Kemudian aku mulai mereka-reka, apa ada hubungan segala aktifitas paranormal tersebut dengan kemunculan laki-laki tampan di dalam mimpiku hampir tiap malam. Aku sadar bahwa seharusnya laki-laki itu tidak boleh melakukan hal yang biasanya hanya dilakukan oleh manusia, dan laki-laki itu bahkan mungkin merupakan dalang dari segala gangguan di apartemen ini sebelum kuncinya jatuh ke tanganku—secara teknis, aku mempunyai kunci apartemen karena aku membayar sewanya, bukan karena kuncinya benar-benar jatuh ke tanganku dari langit.
Walaupun kemudian aku merasa nyaman-nyaman dengan semua kejadian itu, tapi entah mengapa ada perasaan yang tidak bisa kutahan; aku mencurahkan seluruh kejadian itu di buku jurnal, sesuai dengan pendapat Söh, bahwa kemungkinan ada makhluk lain yang menginginkan pertemanan denganku, dan untuk berbagai bukti sebelum menyerahkan kasus ini pada pendeta ataupun exorcist manapun yang bisa mengusirnya—
Tanganku terhenti menulis. Ada sesuatu yang ganjil, yang membuatku tak tega untuk mengusir makhluk ini—yang bahkan aku tak menanyakan namanya. Sesuatu yang mengusikku. Aku mungkin akan menanyakan langsung padanya nanti malam, di dalam mimpi.
Tapi sebelumnya, aku butuh mengecek media sosialku, dan ponselku seharusnya berada dalam tas...ah, itu dia. Dia sudah memindahkannya ke sampingku, di atas kasurku sendiri.
Sesuai
dugaanku, pria dengan iris mata merah yang tidak lazim tersebut muncul
di mimpiku, saat aku tengah menikmati kesendirianku di tepi sungai besar
dengan rumput tebal di pinggirnya seperti bantal empuk.
Melangkah santai dengan senyum lebar di wajahnya, kali ini dia mengenakan jubah biru laut berbahan mahal dengan sepatu boots kulit hitam—tunggu, kenapa aku jadi terpesona padanya? Walau aku memang terpesona, seharusnya aku tidak menyambut senyumannya seperti pertemuan sahabat lama. Dan lagi, apa-apaan wajah sumringahku ini?
"Hai," sapanya terlebih dahulu seperti biasanya, kemudian duduk di sebelahku masih dengan senyum lebar. Aku teringat dengan mitos yang pernah didongengkan Nenek mengenai iblis yang akan memasang rayuan terbaik demi menjerat manusia ke dalamnya. Mataku bersirobok dengan mata pria di hadapanku, mau tak mau merasa sedikit takut. Takut bukan karena menyadari bahwa aku tengah berdampingan dengan seseorang yang mungkin (seratus persen) adalah seorang iblis, tapi karena tidak dapat menebak kenapa dia mendekatiku, dari sekian banyak manusia yang bisa dipilihnya hanya dari selintasan pandangan mata.
"Hai juga, hmm..." siapa pula namamu?
"Hatheas."
"Eh?"
"Namaku Hatheas. Hatheas Mirthfall."
Aku kembali menoleh, mendapati iris merah masih menatapku lekat. Aku berusaha untuk menerjemahkan arti pandangan itu, dan aku tak mendapati adanya sesuatu yang dibutuhkan iblis dalam dongeng Nenek yang biasa mereka dapatkan dari merayu seorang manusia: dosa dan jiwa. Aku mendapati adanya sambutan hangat yang apa adanya padaku—
"Aku Shu Sparda, kau bisa memanggilku Shu."
—dan cinta.
"Bagus, jadi namamu Hatheas."
Aku terbangun akibat alarm pagi, lengkap dengan wajah kusut akibat mimpi yang entah mengapa membuatku stress selama ini dan bayangan akan pekerjaan kantor yang menumpuk—tidak, aku tidak mengeluh. Pernah sekali aku mengeluh tentang hal ini, dan aku terkunci seharian di apartemenku sendiri meskipun kuncinya masih berada di dalam tasku. Hatheas pasti tidak mengijinkanku pergi ke kantor waktu itu, dan alhasil aku harus mengarang ijin pada atasanku—dengan resiko potong gaji seperti biasa.
Dan ingatkan aku, bahwa selama (kira-kira) dua bulan kami 'berkenalan', baru malam tadi aku mengetahui namanya.
Aku menghela nafas pasrah, mencoba memusatkan konsentrasiku yang masih seperempat pada kegiatan rutin pagi hari sebelum bekerja. Tidak benar-benar bisa berkonsentrasi sebenarnya, karena toh aku tetap membutuhkan sepuluh menit untuk menggosok gigi dan seperempat jam untuk sadar kalau aku hanya menggigiti roti sementara kopiku sudah dingin. Mungkin jika aku mempunyai teman sekamar, aku bisa benar-benar memusatkan konsentrasiku yang langka didapat ini—
Oh, aku mulai melantur. Mana mungkin kan aku bisa memiliki teman sekamar sementara apartemenku saja sudah membuatku memiliki 'teman' secara otomatis?
Selesai mengatur letak bantal-bantal di kasurku dan mengecek kerapian kamarku sendiri (sebagai salah satu caraku yang baru untuk mengingatkan diriku sendiri agar tetap waras), aku membuka pintu kamar, melangkah lebar-lebar kea rah pintu keluar dan mengucap salam keberangkatan seperti biasa walau—
"Semoga harimu menyenangkan, Shu."
—ada yang menjawab.
Kepalaku tertoleh cepat untuk menemukan Hatheas berdiri santai beberapa langkah di belakangku, dengan tangan masuk ke dalam saku jubah biru langitnya.
"…Hatheas?"
Kurasa sebaiknya aku segera bergegas pergi; bukan ke tempat kerja ataupun ke psikiater mumpuni manapun, tapi ke tempat exorcist terandal di kota ini. Dan aku nyaris melakukannya, jika saja pintu di belakangku yang sudah terbuka langsung terbanting menutup tiba-tiba disertai suara klik mengunci.
Aku
terlupa akan apa yang kualami selama ini; siapa aku, dimana aku selama
ini, mengapa aku berada di dalam aula kastil mewah penuh rak buku, chandelier, dan
sofa yang super empuk ini, dan mengapa ada seorang laki-laki yang
tengah menjadi 'bantal'-ku dengan menumpukkan kepalaku ke lengannya,
sekaligus tubuhnya menjadi sofa tambahan bagiku. Sembari mempermainkan
helaian rambut panjangku yang tergerai dan tersenyum lebar mendapati
mataku yang terbuka. Sunyi menerjangku untuk beberapa saat ketika
akhirnya aku tahu kalau pria berparas tampan itu memnag sengaja tidak
menyapaku atau membuka percakapan terlebih dahulu, karenanya, meski
suaraku terdengar serak dan mengantuk, aku bertanya, "apa yang terjadi?"
Kantuk rupanya belum hilang penuh, dan aku kembali bersandar pada pria ini. Aku tak merasa mengenalnya—juga diriku sendiri, tapi sesuatu dalam dirinya membuatku sadar bahwa kami pasti bukan orang asing, dan aku merupakan sosok yang berharga baginya. Sebelum aku bertanya lebih lanjut, pria beriris merah tersebut mengecup puncak kepalaku, dan rasa kantukku berlipat dalam kenyamanan.
"Kau Shu, dan aku Hatheas—kekasihmu, dan tertidur dalam jangka waktu yang lama."
—kenapa aku tertidur?
"Kita berada dirumah kita sendiri, berbahagia, selamanya. Kau menyukai gagasanku, Shu?"
—menyukai?
Kembali ia mengecup puncak kepalaku lembut; kali ini dengan tambahan tangan yang mempermainkan rambutku turun ke pinggang, merengkuh ke dalam pelukannya yang erat dan hangat.
Kemudian, sebelum rasa kantukku semakin bertambah, akku berbisik. Bisikan yang cukup keras untuk didengarnya, tapi tak cukup mengganggu ketenangan di aula kami berada.
"Aku menyukaimu, Hatheas. Dan aku mengantuk sekali… bolehkah aku tidur kembali?"
"Hmm, tidurlah. Aku selalu disini, melindungimu."
Aku tak tahu apakah yang kudengar setelah kalimat itu adalah bagian dari mimpiku atau bukan, tapi aku mendengar geraman suara rendah; satu kalimat, dan bergaung seperti dalam gua.
"Jiwamu adalah milikku."
Beberapa
polisi mengitari Söh, masih dengan notes di tangan mereka dan saling
menggumam. Sang psikiater muda itu sendiri tak merasa terganggu dengan
adanya polisi bertampang serius, karena apa yang barusan ia lihat tak
bisa segera pergi dari pikirannya.
Kemudian ia memberanikan diri bertanya, "apa tubuhnya sudah ditemukan?"
"Belum," seorang polisi menjawab, "dan dengan keadaan ruangan yang begitu berantakan sementara pintu itu sendiri terkunci dari dalam, seharusnya korban tidak kemana-mana—"
"Kalau begitu, kuncinya?"
"Tidak pula diketemukan dimanapun."
Söh menggigit bibir bawahnya, ngeri. Ia ingat bagaimana Shu beberapa bulan ini mengatakan tentang 'sesuatu' yang ia temui semenjak menempati apartemen ini, tapi ia tidak berbuat apapun kecuali memberinya jurnal, dan sekarang jurnal tersebut ada di tangannya—penuh darah. Sama dengan keadaan di apartemennya.
Dengan ngeri polisi memberitahunya, bahwa darah itu adalah milik Shu, dan bahwa kejadian ini merupakan kali kedua dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak kejadian pertama. Tak pernah ditemukan adanya tubuh korban kecuali darahnya, dan beberapa peralatan yang dimungkinkan tengah dibawa korban pada saat kejadian tersebut berlangsung.
"Kenapa harus Shu? Apa menurut kalian…ada kesamaan antara Shu dan korban pertama?"
"Tidak, Dokter Söh," menggaruk belakang kepalanya, kali ini polisi berambut coklat yang menjawab, "korban pertama bahkan masih di bawah umur, dan berjenis kelamin laki-laki. Pun rambutnya pirang dengan kulit pucat dan usia berkisar empat belas tahun."
Sesuatu serasa mencengkeram jantung Söh, membuat darah memompa dua kali lipat begitu ia mendengar deksripsi polisi itu. Bukan karena ia tahu kasus itu—mengingat dia sendiri penduduk asli kota kecil dimana justru rekomendasi apartemen murah ini diutarakannya pada sahabatnya sendiri yang sekarang tidak jelas keberadaannya—tapi karena ia yakin bahwa ia pernah melihat anak yang dimaksud.
Anak itu datang padanya, di saat ia masih magang pada ayahnya sendiri, dan pasien itu datang pada ayahnya dengan keluhan yang sama dengan Shu; kemudian beberapa waktu kemudian, ia tak pernah datang lagi. Laporan keluarganya mengatakan anak itu menderita parafilia masokisme sejak sepuluh tahun, dan mereka tidak terkejut mendapati cipratan darah berhamburan di penjuru apartemen. Tapi kemudian sang anak menghilang, berikut pedang pendek peninggalan kakek mereka yang senang berburu. Polisi saat itu memperkirakan hanya kasus anak hilang seperti biasa, dan ia pastilah mendapat sponsor dari luar untuk kabur dalam waktu singkat.
Tapi sekarang Shu menghilang, dan perempuan dua puluh tahun itu jelas tidak mengidap masokisme. Dengan kunci dan tas kerja berikut barang-barang yang selalu ia bawa sebelum kerja, tidak mungkin ia sengaja membuat ruangannya sendiri seperti habis tertiup topan sembari mencipratkan darahnya dimana-mana…
"Apa…" gugup dirasakannya sementara waktu sebelum ia melanjutkan, "apa anak laki-laki itu…bernama Hatheas Mirthfall?"
Hening segera mencekam, dan Söh tahu jawabannya benar. Spontan pandangannya mengarah pada tulisan terakhir di jurnal Shu.
.
.
.
I Love You Beyond The Hell and Back
.
An Original Fiction
.
Disclaimer: Characters are 100% mine! Ide didapat dari beberapa cerita, but trust me, not a plagiarism
Warning: gaje, typo(s), bunny-jumpy-gaje-gapenting linestory, gaje ending, etc!
.
.
Enjoy!
.
.
.
Aku menghela nafas sejenak, kemudian kembali menulis di jurnal yang telah diberikan oleh Söh, seorang psikiater teman baikku. Dimulai dari minggu lalu, ia memberikan buku catatan bercorak merah ini—ia bilang untuk menjagaku tetap waras.
Dan dia berhasil.
Setidaknya, setelah pulang dari pekerjaanku yang melelahkan ke apartemen yang baru kutempati awal tahun ini, aku tetap waras. Aku bisa membedakan mana manusia dan mana yang bukan manusia, jika itu yang kau ingin tahu maksudku.
Oh, kau masih ingin tahu kenapa aku harus tetap waras dan apa hubungan kewarasanku dengan apartemen baruku?
Sebenarnya, kupikir ini hanyalah apartemen biasa yang memiliki tiga ruang: ruang depan sekaligus ruang tamu, dapur, dan kamar dengan kamar mandi serta toilet yang cozy dan berharga murah. Ditambah dengan balkon dimana aku bisa memelihara beberapa pot tanaman hias, aku jatuh cinta dengan apartemen ini setengah mati.
Tapi kemudian aku bermimpi. Seorang laki-laki berambut pirang. Hampir tiap malam, laki-laki ini muncul di mimpiku—sejak aku menghuni apartemen ini. Laki-laki ini sebenarnya ramah, dan ia sering sekali memamerkan senyum lebarnya yang membuat setengah kaum hawa di dunia mimisan. Dan itu mengartikan bahwa dia tampan.
Belum lagi, dia selalu saja mengajakku mengobrol tentang berbagai macam hal. Pertama kalinya dia muncul di mimpiku, dia bahkan bertanya mengenai kesulitan pekerjaanku yang begitu mengena di hati. Seolah-olah saja dia tahu detail kesulitan yang kuhadapi, dan aku tentu merasa sangat nyaman pada orang yang 'pengertian' ini. Aku tidak munafik, dan meskipun ia hanya sesosok dalam mimpi, dia telah begitu menyita perhatianku. Laki-laki jangkung dengan perawakan bak atlet ini begitu telaten, dan tahu segala solusi dari problematika hidupku.
Tapi kemudian keadaan di apartemenku mulai aneh.
Awalnya hanya benda-benda kecil yang menghilang, kemudian muncul lagi di tempat yang berbeda setelah beberapa waktu aku mencarinya, dan aku mengira itu hanyalah kealpaanku saja seperti sebelumnya. Tapi kemudian aku mendapati kalau benda-benda itu muncul di saat aku benar-benar membutuhkannya, dan di tempat yang berada dalam wilayah jangkauan mataku. Ini membuatku mengira-ngira kalau benda-benda itu muncul begitu saja dari ketiadaan di saat yang tepat.
Tapi kemudian ponselku menghilang di saat seorang rekan kerja yang tengah melakukan pendekatan padaku menelepon atau mengirim email; dan muncul di saat aku harus menghubungi kawan atau atasanku di kantor. Dan tak lama setelah benda-benda yang menghilang itu, terkadang aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Aku bahkan bisa mencium aroma bunga mawar segar, seolah apapun itu yang berada di apartemenku tengah berusaha membuatku nyaman. Tapi tentu saja tidak ada seorang manusia pun yang nyaman dengan bau-bauan tanpa sebab ini!
Kemudian aku mulai mereka-reka, apa ada hubungan segala aktifitas paranormal tersebut dengan kemunculan laki-laki tampan di dalam mimpiku hampir tiap malam. Aku sadar bahwa seharusnya laki-laki itu tidak boleh melakukan hal yang biasanya hanya dilakukan oleh manusia, dan laki-laki itu bahkan mungkin merupakan dalang dari segala gangguan di apartemen ini sebelum kuncinya jatuh ke tanganku—secara teknis, aku mempunyai kunci apartemen karena aku membayar sewanya, bukan karena kuncinya benar-benar jatuh ke tanganku dari langit.
Walaupun kemudian aku merasa nyaman-nyaman dengan semua kejadian itu, tapi entah mengapa ada perasaan yang tidak bisa kutahan; aku mencurahkan seluruh kejadian itu di buku jurnal, sesuai dengan pendapat Söh, bahwa kemungkinan ada makhluk lain yang menginginkan pertemanan denganku, dan untuk berbagai bukti sebelum menyerahkan kasus ini pada pendeta ataupun exorcist manapun yang bisa mengusirnya—
Tanganku terhenti menulis. Ada sesuatu yang ganjil, yang membuatku tak tega untuk mengusir makhluk ini—yang bahkan aku tak menanyakan namanya. Sesuatu yang mengusikku. Aku mungkin akan menanyakan langsung padanya nanti malam, di dalam mimpi.
Tapi sebelumnya, aku butuh mengecek media sosialku, dan ponselku seharusnya berada dalam tas...ah, itu dia. Dia sudah memindahkannya ke sampingku, di atas kasurku sendiri.
.
.
Melangkah santai dengan senyum lebar di wajahnya, kali ini dia mengenakan jubah biru laut berbahan mahal dengan sepatu boots kulit hitam—tunggu, kenapa aku jadi terpesona padanya? Walau aku memang terpesona, seharusnya aku tidak menyambut senyumannya seperti pertemuan sahabat lama. Dan lagi, apa-apaan wajah sumringahku ini?
"Hai," sapanya terlebih dahulu seperti biasanya, kemudian duduk di sebelahku masih dengan senyum lebar. Aku teringat dengan mitos yang pernah didongengkan Nenek mengenai iblis yang akan memasang rayuan terbaik demi menjerat manusia ke dalamnya. Mataku bersirobok dengan mata pria di hadapanku, mau tak mau merasa sedikit takut. Takut bukan karena menyadari bahwa aku tengah berdampingan dengan seseorang yang mungkin (seratus persen) adalah seorang iblis, tapi karena tidak dapat menebak kenapa dia mendekatiku, dari sekian banyak manusia yang bisa dipilihnya hanya dari selintasan pandangan mata.
"Hai juga, hmm..." siapa pula namamu?
"Hatheas."
"Eh?"
"Namaku Hatheas. Hatheas Mirthfall."
Aku kembali menoleh, mendapati iris merah masih menatapku lekat. Aku berusaha untuk menerjemahkan arti pandangan itu, dan aku tak mendapati adanya sesuatu yang dibutuhkan iblis dalam dongeng Nenek yang biasa mereka dapatkan dari merayu seorang manusia: dosa dan jiwa. Aku mendapati adanya sambutan hangat yang apa adanya padaku—
"Aku Shu Sparda, kau bisa memanggilku Shu."
—dan cinta.
.
.
Aku terbangun akibat alarm pagi, lengkap dengan wajah kusut akibat mimpi yang entah mengapa membuatku stress selama ini dan bayangan akan pekerjaan kantor yang menumpuk—tidak, aku tidak mengeluh. Pernah sekali aku mengeluh tentang hal ini, dan aku terkunci seharian di apartemenku sendiri meskipun kuncinya masih berada di dalam tasku. Hatheas pasti tidak mengijinkanku pergi ke kantor waktu itu, dan alhasil aku harus mengarang ijin pada atasanku—dengan resiko potong gaji seperti biasa.
Dan ingatkan aku, bahwa selama (kira-kira) dua bulan kami 'berkenalan', baru malam tadi aku mengetahui namanya.
Aku menghela nafas pasrah, mencoba memusatkan konsentrasiku yang masih seperempat pada kegiatan rutin pagi hari sebelum bekerja. Tidak benar-benar bisa berkonsentrasi sebenarnya, karena toh aku tetap membutuhkan sepuluh menit untuk menggosok gigi dan seperempat jam untuk sadar kalau aku hanya menggigiti roti sementara kopiku sudah dingin. Mungkin jika aku mempunyai teman sekamar, aku bisa benar-benar memusatkan konsentrasiku yang langka didapat ini—
Oh, aku mulai melantur. Mana mungkin kan aku bisa memiliki teman sekamar sementara apartemenku saja sudah membuatku memiliki 'teman' secara otomatis?
Selesai mengatur letak bantal-bantal di kasurku dan mengecek kerapian kamarku sendiri (sebagai salah satu caraku yang baru untuk mengingatkan diriku sendiri agar tetap waras), aku membuka pintu kamar, melangkah lebar-lebar kea rah pintu keluar dan mengucap salam keberangkatan seperti biasa walau—
"Semoga harimu menyenangkan, Shu."
—ada yang menjawab.
Kepalaku tertoleh cepat untuk menemukan Hatheas berdiri santai beberapa langkah di belakangku, dengan tangan masuk ke dalam saku jubah biru langitnya.
"…Hatheas?"
Kurasa sebaiknya aku segera bergegas pergi; bukan ke tempat kerja ataupun ke psikiater mumpuni manapun, tapi ke tempat exorcist terandal di kota ini. Dan aku nyaris melakukannya, jika saja pintu di belakangku yang sudah terbuka langsung terbanting menutup tiba-tiba disertai suara klik mengunci.
.
.
Kantuk rupanya belum hilang penuh, dan aku kembali bersandar pada pria ini. Aku tak merasa mengenalnya—juga diriku sendiri, tapi sesuatu dalam dirinya membuatku sadar bahwa kami pasti bukan orang asing, dan aku merupakan sosok yang berharga baginya. Sebelum aku bertanya lebih lanjut, pria beriris merah tersebut mengecup puncak kepalaku, dan rasa kantukku berlipat dalam kenyamanan.
"Kau Shu, dan aku Hatheas—kekasihmu, dan tertidur dalam jangka waktu yang lama."
—kenapa aku tertidur?
"Kita berada dirumah kita sendiri, berbahagia, selamanya. Kau menyukai gagasanku, Shu?"
—menyukai?
Kembali ia mengecup puncak kepalaku lembut; kali ini dengan tambahan tangan yang mempermainkan rambutku turun ke pinggang, merengkuh ke dalam pelukannya yang erat dan hangat.
Kemudian, sebelum rasa kantukku semakin bertambah, akku berbisik. Bisikan yang cukup keras untuk didengarnya, tapi tak cukup mengganggu ketenangan di aula kami berada.
"Aku menyukaimu, Hatheas. Dan aku mengantuk sekali… bolehkah aku tidur kembali?"
"Hmm, tidurlah. Aku selalu disini, melindungimu."
Aku tak tahu apakah yang kudengar setelah kalimat itu adalah bagian dari mimpiku atau bukan, tapi aku mendengar geraman suara rendah; satu kalimat, dan bergaung seperti dalam gua.
"Jiwamu adalah milikku."
.
.
Kemudian ia memberanikan diri bertanya, "apa tubuhnya sudah ditemukan?"
"Belum," seorang polisi menjawab, "dan dengan keadaan ruangan yang begitu berantakan sementara pintu itu sendiri terkunci dari dalam, seharusnya korban tidak kemana-mana—"
"Kalau begitu, kuncinya?"
"Tidak pula diketemukan dimanapun."
Söh menggigit bibir bawahnya, ngeri. Ia ingat bagaimana Shu beberapa bulan ini mengatakan tentang 'sesuatu' yang ia temui semenjak menempati apartemen ini, tapi ia tidak berbuat apapun kecuali memberinya jurnal, dan sekarang jurnal tersebut ada di tangannya—penuh darah. Sama dengan keadaan di apartemennya.
Dengan ngeri polisi memberitahunya, bahwa darah itu adalah milik Shu, dan bahwa kejadian ini merupakan kali kedua dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak kejadian pertama. Tak pernah ditemukan adanya tubuh korban kecuali darahnya, dan beberapa peralatan yang dimungkinkan tengah dibawa korban pada saat kejadian tersebut berlangsung.
"Kenapa harus Shu? Apa menurut kalian…ada kesamaan antara Shu dan korban pertama?"
"Tidak, Dokter Söh," menggaruk belakang kepalanya, kali ini polisi berambut coklat yang menjawab, "korban pertama bahkan masih di bawah umur, dan berjenis kelamin laki-laki. Pun rambutnya pirang dengan kulit pucat dan usia berkisar empat belas tahun."
Sesuatu serasa mencengkeram jantung Söh, membuat darah memompa dua kali lipat begitu ia mendengar deksripsi polisi itu. Bukan karena ia tahu kasus itu—mengingat dia sendiri penduduk asli kota kecil dimana justru rekomendasi apartemen murah ini diutarakannya pada sahabatnya sendiri yang sekarang tidak jelas keberadaannya—tapi karena ia yakin bahwa ia pernah melihat anak yang dimaksud.
Anak itu datang padanya, di saat ia masih magang pada ayahnya sendiri, dan pasien itu datang pada ayahnya dengan keluhan yang sama dengan Shu; kemudian beberapa waktu kemudian, ia tak pernah datang lagi. Laporan keluarganya mengatakan anak itu menderita parafilia masokisme sejak sepuluh tahun, dan mereka tidak terkejut mendapati cipratan darah berhamburan di penjuru apartemen. Tapi kemudian sang anak menghilang, berikut pedang pendek peninggalan kakek mereka yang senang berburu. Polisi saat itu memperkirakan hanya kasus anak hilang seperti biasa, dan ia pastilah mendapat sponsor dari luar untuk kabur dalam waktu singkat.
Tapi sekarang Shu menghilang, dan perempuan dua puluh tahun itu jelas tidak mengidap masokisme. Dengan kunci dan tas kerja berikut barang-barang yang selalu ia bawa sebelum kerja, tidak mungkin ia sengaja membuat ruangannya sendiri seperti habis tertiup topan sembari mencipratkan darahnya dimana-mana…
"Apa…" gugup dirasakannya sementara waktu sebelum ia melanjutkan, "apa anak laki-laki itu…bernama Hatheas Mirthfall?"
Hening segera mencekam, dan Söh tahu jawabannya benar. Spontan pandangannya mengarah pada tulisan terakhir di jurnal Shu.
.
" Tanggal 11 bulan Juli,
Aku
tahu nama laki-laki itu. Ia menyebut dirnya Hatheas Mirthfall, dan dia
bercerita bahwa dia menyukaiku sejak pertama kali melihatku memasuki
apartemen.
Aku
memiliki dugaan bahwa dia bukan hanya hantu. Dia mungkin manusia di
masa lalu, mengingat nama lengkapnya pernah kulihat di catatan milik
ayah Söh. Tapi kemudian dia datang ke mimpiku, melakukan aktifitas
paranormal.
Mungkin…dia iblis.
Iblis yang memandangiku penuh dengan kehangatan dan cinta…bisakah iblis melakukannya? Jika iya, bagaimana ini?
Aku terlanjur mencintainya…"
.
.
"Shu."
"Hmm?"
"Kau akan selalu bersamaku selamanya, di aula ini?"
"Ya, Hatheas."
"Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"
Jeda hening.
"Aku mencintaimu, meski aku tidak mengingat apapun, Hatheas. I love you beyond the hell and back."
"Don't back. We are already in hell. Our hell."
"Kau mencintaiku?"
"Jiwaku milikmu."
Dan begitu pula jiwamu.
.
.
.
FIN
.
.
.
Minggu, 25 Oktober 2015
Big Girls Don't Cry
Big Girls Don't Cry
.
An Original Fiction About Shin and Shu
.
Disclaimer: lagu Big Girls Don't Cry (Personal) tetap milik Fergie dan cerita serta karakter 100% milik saya
.
Beware: typo(s), gaje, angst, bad-end, death-chara, etc!
.
.
.
.
.
The smell of your skin lingers on me now
You're probably on your flight back to your home town
You're probably on your flight back to your home town
.
.
Yah, tak apalah. Sweater tipis di saat mendung tak akan membunuhnya.
.
.
I need some shelter of my own protection, baby
To be with myself and center
Clarity, peace, serenity
To be with myself and center
Clarity, peace, serenity
.
.
"Tolong ke bandara, sir."
"Aye, ma'am".
.
.
I hope you know, I hope you know
That this has nothing to do with you
It's personal, myself and I
We've got some straightenin' out to do
That this has nothing to do with you
It's personal, myself and I
We've got some straightenin' out to do
.
.
Dan dua pasang iris berbeda warna itu saling pandang.
"Shin, aku datang."
"Aku sudah melihatmu, Shu."
Sebuah senyuman mereka bagi berdua.
.
.
And I'm gonna miss you like a child misses their blanket
But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
.
.
"Ya."
Diam sejenak, "kenapa?"
"Karena aku memiliki alasan."
"Alasan yang tidak boleh kuketahui?"
Pria yang dipanggil 'Shin' itu hanya mengangguk, tapi ia melanjutkan, "bukan salahmu. Tidak ada yang salah denganmu."
.
.
Don't cry
Don't cry
Don't cry
Don't cry
Don't cry
.
.
Itu akhir dari hubungan mereka.
"Aku akan merindukanmu."
"Aku juga."
"Aku tidak akan melupakanmu."
"Kau…" kali ini tenggorokannya mulai berkhianat, "kau hanya perlu berada disana. Dan aku tak akan pernah melewatkan sosokmu bahkan…"—jeda—,"bahkan saat aku buta."
"Hush."
"Dan kau juga tidak perlu pergi. Kau hanya perlu…kau hanya perlu sedikit komitmen dengan—"
"Dengan diriku sendiri?" telinga Shu menangkap tawa kecil, "kita sudah membicarakan semua ini. Kau hanya perlu membiarkanku pergi, itu sudah cukup."
.
.
Like the little school mate in the school yard
We'll play jacks and Uno cards
I'll be your best friend, and you'll be mine
Valentine
We'll play jacks and Uno cards
I'll be your best friend, and you'll be mine
Valentine
.
.
"Tentu saja bisa."
Sebuah kalimat menggantung. Sebuah kalimat menggema dalam kedua benak.
Jika aku tak menyakitimu lagi.
Dan mereka nyaris lupa, bahwa kecemburuan membabi buta itu yang telah melukai sang maha puteri, yang kemudian melukai keduanya.
Sudah kubilang, itu masalahku.
Tak ada yang salah denganmu. Kau tidak salah. Bukan salahmu. Tak ada yang salah denganmu.
Tapi kalimat yang tak terkatakan hanya menambah luka; dan akan membunuh mereka berdua dari dalam, jika Shin mengatakannya—walau faktanya saat ini pun jiwanya tengah sekarat.
.
.
Yes, you can hold my hand if you want to
'Cause I want to hold yours too
We'll be playmates and lovers, and share our secret worlds
But it's time for me to go home
'Cause I want to hold yours too
We'll be playmates and lovers, and share our secret worlds
But it's time for me to go home
.
.
"Jaga dirimu."
"Tentu saja."
"Jangan lupa makan dan cek kesehatan. Rokokmu benar-benar parah jika kau sendirian."
"Aku tahu."
Surai ungu itu nyaris berbalik, namun sesuatu mengurungkan niatnya—tepatnya menundanya. Dan ia menatap lekat-lekat orang pernah ia berusaha bahagiakan selama dua tahun sebelum ia mengundurkan diri.
Sebelum ia mundur dengan hormat.
Perempuan yang ia cintai lebih dari nyawanya sendiri. Perempuan yang mati-matian ia lindungi. Perempuan yang demi dia, kematian dan neraka pun akan ia porak-porandakan.
Perempuan yang ia lukai, jiwa dan raganya.
Menatap lekat-lekat, melahap semua kenangan.
Menatap lekat-lekat, sebelum tak pernah lagi.
Sebelum ia tak bisa kembali.
Tapi jauh dalam pikirannya, dengan seluruh akal sehatnya, ia tidak menginginkannya.
.
.
It's getting late and dark outside
I need to be with myself and center
Clarity, peace, serenity
I need to be with myself and center
Clarity, peace, serenity
.
.
"Tidak."
"Tidak?"
"Aku tidak menangis."
"Kenapa?"
"Jika aku menangis, kau akan memelukku. Jika kau memelukku, aku tak akan mengijinkanmu pergi selamanya."
"Bahkan saat aku membuatmu menderita selama ini?"
Shu tersenyum meski tenggorokannya terasa tercekik dan bibir bawahnya digigit.
"Bukan salahmu. Tak ada yang salah denganmu," sekali lagi, karena aku mencintaimu.
.
.
I hope you know, I hope you know
That this has nothing to do with you
It's personal, myself and I
We've got some straightenin' out to do
And I'm gonna miss you like a child misses their blanket
That this has nothing to do with you
It's personal, myself and I
We've got some straightenin' out to do
And I'm gonna miss you like a child misses their blanket
.
.
Menatap lekat-lekat, menahan kedua tangan tetap di dalam saku.
Menatap lekat-lekat.
Aah, sekarang Shin tahu kenapa dia mencintai perempuan itu.
Dan sekarang, justru dia yang ingin menangis.
.
.
But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
.
.
Kemudian ia membayangkan bagaimana saat Shu menggenggam tangannya tatkala mimpi buruk menghantui. Bagaimana Shu mengucapkan selamat pagi dan mengusap kepalanya lembut, menyuruhnya bangun dan bersiap-siap bekerja. Bagaimana Shu menepuk bahunya dan membuat segalanya terasa lebih mudah. Bagaimana cara Shu mengelus pipinya untuk menenangkan emosi meledak-ledaknya.
Ia tak ingin pergi.
Dan ia harus pergi.
"Aku tak tahu. Aku hanya ingin bersamamu."
Nah, tamat sudah. Kali ini seluruh tubuhnya total melawan keputusannya.
Dan ia memeluk Shu erat.
.
.
.
But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
.
.
.
Tak ada ramalan cuaca buruk pagi itu, dan kalendernya telah berhiaskan tanda silang merah spidolnya. Meski begitu, entah kenapa kebiasaan berkaca lama-lama masih saja melekat dalam dirinya, dan ia tak keberatan dengan terpotongnya jam sarapan akibat hal itu. Ia benar-benar butuh menghentikan kebiasaan itu sedikit demi sedikit.
Kembali tersadar dari lamunannya, ia melirik jam dinding—sejam sebelum acara yang harus ia hadiri. Ia masih punya beberapa menit untuk memilih pakaian, dan tangannya meraih gagang lemari sebelum terhenti; seperti gerakan refleks, ia memandang figura dimana fotonya dan Shin masih terpampang. Senyum merekah di wajahnya, dan meski ia merasa tercekat hingga ingin menangis, ia kembali menekuni kegiatan awalnya bersiap-siap.
Ia tidak menangis. Karena jika menangis, Shin akan memeluknya. Dan jika Shin memeluknya, ia tak akan mampu melepasnya lagi. Dan Shu tahu bagaimana Shin akan kembali bahkan jika ia mati.
Benar juga. Bahkan jika ia tengah berada di lapisan neraka terdalam, Shin pasti akan kembali jika ia mengatakannya.
Dan Shu tak ingin menangis—baik saat di bandara, saat ia kembali dengan jemari kedua tangannya sendiri saling bertautan, saat ia mengangkat telepon dua minggu setelahnya, saat ia mendengar ibu Shin menginginkannya hadir di upacara pemakaman Shin, saat ia menatap wajah damai Shin untuk terakhir kalinya, dan saat ini.
.
.
"Apa itu cuma sugesti supaya jarimu yang teriris tidak sakit?"
"Itu juga, dan lain alasan."
"Hah? Alasan apa?"
"Supaya kau tidak mencemaskanku."
"…kau tahu, Shu? Perempuan itu makhluk aneh."
"Hmm-mmh."
.
.
Don't cry
Don't cry
Don't cry
Don't cry
Don't cry
.
.
.
FIN
.
.
.
A/N:
Diketik saat mendung 'PHP' menerjang tempat kerja, sambil dengerin Big Girls Don't Cry (Personal) sampai nostalgia mampir di otak dan mengakibatkan mata beleleran juga *digetok mbak Fergie*.
At least, enjoy reading pals!
Semarang, 25102015
Minggu, 18 Oktober 2015
Monster and Darkness Within Us
Jika saja dalam cuaca sepanas ini Shu tidak melontarkan kata-kata
aneh, mungkin jadinya tidak begini; mungkin Shin tidak akan berlaku
begini.
Tapi ini hanyalah sebuah bentuk penyesalan berupa pemikiran belaka.
Shu menghela nafas untuk kesekian kalinya sembari mengenakan sepatu boots sepahanya. Kejadian sepagian tadi nyaris saja membuatnya mati—bukan karena Shin sendiri atau kecelakaan, tapi murni karena jantungnya sendiri yang seolah mau lepas dari rongganya akibat kealpaannya sendiri. Hanya dalam jangka waktu tiga jam saja, segala rencananya hampir berantakan—
Ia menggeleng, berusaha mengenyahkan hal-hal buruk sebelumnya. Dengan mantap, tangannya hampir saja mencapai daun pintu sebelum terdengar suara yang sangat dikenalnya; Shin. Tunangan-dua-tahun-nya itu rupanya berada di depan pintu utama mansionnya sendiri, tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Yang tandanya, jika Shu membuka pintu sekarang, tujuannya untuk keluar rumah akan ketahuan oleh sosok terakhir yang justru tidak ingin ditemuinya dalam dua puluh empat jam ini!
Shu berdecak. Spontan kaki-kakinya mundur sejauh mungkin dari bentuk melengkung pintu tersebut dan kembali ke kamarnya, masih dengan pakaian bepergian. Entah bagaimana, ia harus keluar tanpa ketahuan Shin, dan masuk rumah juga tanpa ketahuan.
Tapi kemudian langkahnya terhenti—keringat dingin mulai melandanya ketika teringat dimana sekarang ini ia berada. Mansion bos teroris nomor satu paling dicari sedunia tidak akan luput dari pengamanan paling tinggi kelas VVIP, bukan? Apalagi jika itu Shin yang notabene (kata orang) teroris paling sinting (dan kaya) sejagat dunia bawah tanah! Dan intinya, tidak mungkin, kan¸untuk manusia NORMAL seperti Shu keluar-masuk tanpa ketahuan minimal oleh anak buah tunangannya?
"—jadi intinya, I am sooo dead."
"Dead what?"
Crap.
Sekarang orang yang semenit lalu berada di depan pintu utama malah sudah berada lima meter di belakangnya. Dan ngomong-ngomong, kenapa Shin bisa bergerak secepat itu tanpa suara? Atau ini cuma perasaan Shu saja karena ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri?
Kepala Shu menoleh takut-takut; seringai santai Shin sembari menghirup pipa tembakaunya malah membuat keringat dinginnya semakin menjadi. Ia tahu dengan jelas dari tampang itu kalau Shin sudah menebak rencananya; double crap.
Belum lagi ia menjawab, langkah-langkah lebar pria bersurai hitam tersebut menginterupsi, dan langsung merengkuh pinggang kecil Shu ke dalam setengah-pelukan-setengah-menahan andalannya jika sang kekasih sudah mulai protes.
"Nah—," jeda dengan nada iseng menyusup dari bibir Shin yang di sudutnya bertengger pipa, "—keisengan apalagi yang akan kau lakukan jika aku tadi tidak berada di depan pintu?"
Keisengan your ass!
"Bukan apa-apa."
"Aku tidak suka," tangan di pinggangnya menegang sesaat sebelum rileks kembali—apa Shin, untuk sesaat merasa kesal? Tidak, ini bukan hanya soal kesal atau perasaan sepele lainnya. Shin mulai marah. Dan untuk ukuran seorang Shin, itu artinya Shu tengah berada dalam bahaya.
Asal tahu saja, seorang pemimpin tunggal The Irregular Militia—kelompok teroris yang beberapa tahun belakangan ini meresahkan dunia—yang telah terbiasa meneror orang-orang, bahkan yang tidak bersalah sekalipun, tidak mungkin terima saja dengan alasan tidak logis yang barusan kulontarkan; dan lagi, kemarahan seorang teroris tentu beda sekali dengan orang normal, no?
Oh, aku mengaku bahwa aku adalah perempuan yang terlalu berani sampai-sampai membuat tunanganku sendiri marah…
"Kau dengar, Shu?" kini suara rendah yang biasanya Shin perdengarkan padaku mulai terasa aneh.
"Aku tidak suka dengan kepura-puraanmu, dan aku tidak berencana untuk mendengarnya lagi hari ini."
"Dan kau, akan mengatakan semua yang ingin kudengar…"
"Katakan. Apa yang kau lakukan," pelukannya mengerat mengancam, "Di depan pintu tadi."
Semuanya berjalan begitu cepat saat Shin selesai mengatakan kalimat terakhir; kedua tangannya mendorong dan menahanku ke dinding, membuatku sama sekali tak bisa bergerak kemanapun. Sedetik yang berlalu dalam kedipan mata, bibirnya menangkapku—memagut penuh paksa, seolah aku tak berhak untuk suatu kelembutan apapun. Tak peduli dengan desah dan erang kesakitanku yang memerlukan udara, Shin terus memaksa. Seluruh kemarahannya tersalur padaku, dan penuh dengan cinta; bukan cinta yang indah dan penuh kasih yang biasanya ia berikan.
Ia memberikan cinta obsesi yang tak pernah ia perlihatkan sebelumnya. Cinta yang tidak sehat—ketika kupikir lagi di masa mendatang, aku tersadar bahwa memang cinta itu sama sekali tidak sehat, karena toh aku bahkan tak bergeming saat aku tahu bahwa aku tengah jatuh cinta dengan bos teroris paling berbahaya sedunia.
Cinta yang mengerikan yang diberikan oleh binatang liar yang terluka.
Shin
merasa ia tengah mengapung di ruang hampa udara ketika akhirnya ia
tersadar sepenuhnya. Ia memandang kedua tangannya yang lembab, dan
tersadar bahwa ia telah berpindah tempat dari koridor kosong ke kamarnya
sendiri.
Ini membuatnya benar-benar jijik; ia dirasuki oleh binatang liar itu sekali lagi. Binatang yang menyebut dirinya sendiri sebagai manusia. Binatang yang sejak kapan bergumul di dalam otaknya, menggerogotinya secara perlahan, dan mengambil alih kesadarannya.
Kemudian telinganya menangkap lenguhan lemah—suara orang bermimpi.
Matanya terbelalak lebar—Shu berada di sampingnya, dengan kondisi tanpa pakaian seperti halnya dia. Entah refleks yang sejak kapan terbentuk, pria itu mendekat untuk mengamati tunangannya. Bagaimanapun, biasanya saat ia terbangun lebih dulu di pagi atau (lebih sering) malam hari, ia selalu melakukannya. Untuk melahap pemandangan indah yang hanya bisa didapat saat perempuan berambut panjang tersebut tidur, untuk merenungkan sekali lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak berani ia lontarkan, untuk mendapati perubahan apa saja yang kekasihnya itu lakukan tiap bulan, yang biasanya hanya berupa potongan rambutnya yang lebih rapi akibat perawatan salon atau jerawat yang sekali-dua kali muncul di wajah, atau—
Bekas kemerahan yang menyebar, yang satu-duanya mulai membiru. Bekas yang seharusnya hanya menjadi tanda bahwa ia telah melakukan hal yang begitu kasar pada Shu. Bahwa sebenarnya ia mengeksploitasi tubuh itu; bahwa ia menggunakannya seperti alat; bahwa ia berusaha menunjukkan teror pada orang yang justru paling ia cintai.
Bahwa binatang liar di pikirannya telah berubah menjadi monster melalui tanda-tanda itu.
Shin hanya ingin menjauh dari Shu. Sejauh mungkin.
Dan mati.
Suara
kaca pecah nyaris membuat Shu mengira kalau seluruh dunia kaca yang
menjadi mimpinya tengah hancur; lalu ia sadar bahwa itu benar-benar
suara kaca.
Terbangun dengan cukup kejutan, perempuan itu segera meraih ujung selimutnya untuk menutupi tubuhnya, bergegas melihat apa yang terjadi—ia memiliki respon yang terlalu bagus akibat masa lalunya, dan ia memiliki pengamatan yang terlalu tajam, akibat apa yang ia terima dulu...
Shu menghela nafas begitu berhasil membuka pintu kamar mandi, tempat yang paling dekat dengan kemungkinan dimana ia sendiri bisa mendengar suara pecah yang sangat jelas dan—
Shin yang terduduk di depan wastafel.
"Shin? Kau baik-baik sa—"
"JANGAN MENDEKAT."
Gerakan tangannya yang tinggal semester lagi dari sang tunangan terhenti. Mata emerald Shin menatap tajam kepingan-kepingan berkilau kaca di depannya—satu-satunya hal yang Shu syukuri saat ini adalah bahwa Shin sama sekali tidak terluka. Tak peduli dengan tatapan bak orang frustasi maupun tubuh tegang Shin yang seolah berada di tengah medan pertempuran, Shu tetap maju.
Saat ia benar-benar tersadar akan apa yang tengah dilakukan, Shu menjatuhkan diri dalam tangan Shin yang telah membentang—merengkuhnya dalam pelukan, seolah-olah apa yang meeka lakukan adalah sebuah keteraturan sistematis, tanpa adanya paksaan dan buatan. Pelukan itu terasa natural meski dbumbui kata 'jangan mendekat' yang Shin bisikkan berkali-kali.
Berpelukan, seperti bahwa itu saat terakhir mereka. Berpelukan, erat-erat.
Shin teringat bahwa meskipun ia adalah seekor monster yang telah menyakiti pawangnya sendiri, monster itu merasakan kesakitan yang sama dengan kesakitan yang telah ia timbulkan. Makhluk buas dan pawangnya itu telah menjadi satu kesatuan.
Cinta di antara mereka tak sehat, dan sama sekali jauh dari kata cinta—kau sebut apa saja seperti obsesi, keterikatan, fanatik, loyalitas, apapun itu.
Dan itulah kami.
"Hari ini kau berulang tahun."
"Dan?"
"Aku membuat kue. Tapi lupa membeli lilin."
"Dan?"
"Itu kue kejutan!"
Suara merajuk Shu akhirnya membuat nalar Shin berjalan juga untuk pertama kalinya dalam jangka waktu dua jam itu. "Jadi, kau mengendap-endap ke depan pintu untuk membeli lilin demi kue kejutan ulang tahunku. Dan karena aku telah sampai di depan pintu, kau bermaksud lewat pintu belakang?"
Satu anggukan ia terima sebagai jawaban.
"…Dasar bodoh."
"Kau—"
Shu tidak sempat membalas perkataan Shin ketika pria itu kembali merengkuhnya ke dalam pelukan lembut; Shin memeluknya penuh penyesalan, dan ia memastikan bahwa segala permintaan maafnya tercurah hanyadalam satu pelukan itu.
Pelukan berarti yang Shu namakan pelukan 'maafkan aku dan tolong tetap cintai aku'.
Shin
adalah pria dengan monster dalam hati dan binatang buas dalam
pikirannya. Dengan cinta bak obsesi pada Shu, ia adalah gabungan dari
makhluk buruk rupa yang bercokol di dasar neraka. Namun Shu mampu
mencintainya kembali tanpa terluka sedikitpun; ia bahkan melukai Shin
berkali-kali, membuat Shin jijik dengan dirinya sendiri, hingga membuat
pria itu tak berkutik.
Shu adalah kegelapan yang membuat Shin tak tahu kemana arah langkahnya.
Dan itu lebih dari cukup.
A/N:
Saya mau bikin drabble kenapa jadinya beda! /efekkemarau
Sebenarnya saya bikin cerita ini murni humor, tapi gimana juga dalam konsep saya Shin itu gelap bin sinting *apanya yang gary-stu, peak*. Dan jadilah cerita rada hurt/comfort nan angst ini orz orz orz
Apapun itu, selamat menikmati karena saya tetep masukin ini ke dalam genre romance! /diserudukebo
Semarang, 18102015
Tapi ini hanyalah sebuah bentuk penyesalan berupa pemikiran belaka.
.
.
.
Monster and Darkness Within Us
.
Original Story about Shin and Shu
.
Disclaimer: Characters and Storyline are 100% Mine
Genre: Romance/Drama
Beware: Mary-Sue/ Gary-Stu! Typo(s), gaje, AU, AR, etc.
.
Enjoy!
.
.
.
Shu menghela nafas untuk kesekian kalinya sembari mengenakan sepatu boots sepahanya. Kejadian sepagian tadi nyaris saja membuatnya mati—bukan karena Shin sendiri atau kecelakaan, tapi murni karena jantungnya sendiri yang seolah mau lepas dari rongganya akibat kealpaannya sendiri. Hanya dalam jangka waktu tiga jam saja, segala rencananya hampir berantakan—
Ia menggeleng, berusaha mengenyahkan hal-hal buruk sebelumnya. Dengan mantap, tangannya hampir saja mencapai daun pintu sebelum terdengar suara yang sangat dikenalnya; Shin. Tunangan-dua-tahun-nya itu rupanya berada di depan pintu utama mansionnya sendiri, tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Yang tandanya, jika Shu membuka pintu sekarang, tujuannya untuk keluar rumah akan ketahuan oleh sosok terakhir yang justru tidak ingin ditemuinya dalam dua puluh empat jam ini!
Shu berdecak. Spontan kaki-kakinya mundur sejauh mungkin dari bentuk melengkung pintu tersebut dan kembali ke kamarnya, masih dengan pakaian bepergian. Entah bagaimana, ia harus keluar tanpa ketahuan Shin, dan masuk rumah juga tanpa ketahuan.
Tapi kemudian langkahnya terhenti—keringat dingin mulai melandanya ketika teringat dimana sekarang ini ia berada. Mansion bos teroris nomor satu paling dicari sedunia tidak akan luput dari pengamanan paling tinggi kelas VVIP, bukan? Apalagi jika itu Shin yang notabene (kata orang) teroris paling sinting (dan kaya) sejagat dunia bawah tanah! Dan intinya, tidak mungkin, kan¸untuk manusia NORMAL seperti Shu keluar-masuk tanpa ketahuan minimal oleh anak buah tunangannya?
"—jadi intinya, I am sooo dead."
"Dead what?"
Crap.
Sekarang orang yang semenit lalu berada di depan pintu utama malah sudah berada lima meter di belakangnya. Dan ngomong-ngomong, kenapa Shin bisa bergerak secepat itu tanpa suara? Atau ini cuma perasaan Shu saja karena ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri?
Kepala Shu menoleh takut-takut; seringai santai Shin sembari menghirup pipa tembakaunya malah membuat keringat dinginnya semakin menjadi. Ia tahu dengan jelas dari tampang itu kalau Shin sudah menebak rencananya; double crap.
Belum lagi ia menjawab, langkah-langkah lebar pria bersurai hitam tersebut menginterupsi, dan langsung merengkuh pinggang kecil Shu ke dalam setengah-pelukan-setengah-menahan andalannya jika sang kekasih sudah mulai protes.
"Nah—," jeda dengan nada iseng menyusup dari bibir Shin yang di sudutnya bertengger pipa, "—keisengan apalagi yang akan kau lakukan jika aku tadi tidak berada di depan pintu?"
Keisengan your ass!
"Bukan apa-apa."
"Aku tidak suka," tangan di pinggangnya menegang sesaat sebelum rileks kembali—apa Shin, untuk sesaat merasa kesal? Tidak, ini bukan hanya soal kesal atau perasaan sepele lainnya. Shin mulai marah. Dan untuk ukuran seorang Shin, itu artinya Shu tengah berada dalam bahaya.
Asal tahu saja, seorang pemimpin tunggal The Irregular Militia—kelompok teroris yang beberapa tahun belakangan ini meresahkan dunia—yang telah terbiasa meneror orang-orang, bahkan yang tidak bersalah sekalipun, tidak mungkin terima saja dengan alasan tidak logis yang barusan kulontarkan; dan lagi, kemarahan seorang teroris tentu beda sekali dengan orang normal, no?
Oh, aku mengaku bahwa aku adalah perempuan yang terlalu berani sampai-sampai membuat tunanganku sendiri marah…
"Kau dengar, Shu?" kini suara rendah yang biasanya Shin perdengarkan padaku mulai terasa aneh.
Menggelap seolah terdapat binatang kesakitan yang tengah terancam—
"Aku tidak suka dengan kepura-puraanmu, dan aku tidak berencana untuk mendengarnya lagi hari ini."
Penuh ancaman, tapi tak ada yang tak tahu dengan luka bernanah yang membuatnya pedih—
"Dan kau, akan mengatakan semua yang ingin kudengar…"
Jika saja binatang itu bisa bicara, mungkin ia tengah menjerit ketakutan—
"Katakan. Apa yang kau lakukan," pelukannya mengerat mengancam, "Di depan pintu tadi."
Binatang itu berkata, 'jangan sakiti aku lagi, kumohon'—
Semuanya berjalan begitu cepat saat Shin selesai mengatakan kalimat terakhir; kedua tangannya mendorong dan menahanku ke dinding, membuatku sama sekali tak bisa bergerak kemanapun. Sedetik yang berlalu dalam kedipan mata, bibirnya menangkapku—memagut penuh paksa, seolah aku tak berhak untuk suatu kelembutan apapun. Tak peduli dengan desah dan erang kesakitanku yang memerlukan udara, Shin terus memaksa. Seluruh kemarahannya tersalur padaku, dan penuh dengan cinta; bukan cinta yang indah dan penuh kasih yang biasanya ia berikan.
Ia memberikan cinta obsesi yang tak pernah ia perlihatkan sebelumnya. Cinta yang tidak sehat—ketika kupikir lagi di masa mendatang, aku tersadar bahwa memang cinta itu sama sekali tidak sehat, karena toh aku bahkan tak bergeming saat aku tahu bahwa aku tengah jatuh cinta dengan bos teroris paling berbahaya sedunia.
Cinta yang mengerikan yang diberikan oleh binatang liar yang terluka.
.
.
Ini membuatnya benar-benar jijik; ia dirasuki oleh binatang liar itu sekali lagi. Binatang yang menyebut dirinya sendiri sebagai manusia. Binatang yang sejak kapan bergumul di dalam otaknya, menggerogotinya secara perlahan, dan mengambil alih kesadarannya.
Kemudian telinganya menangkap lenguhan lemah—suara orang bermimpi.
Matanya terbelalak lebar—Shu berada di sampingnya, dengan kondisi tanpa pakaian seperti halnya dia. Entah refleks yang sejak kapan terbentuk, pria itu mendekat untuk mengamati tunangannya. Bagaimanapun, biasanya saat ia terbangun lebih dulu di pagi atau (lebih sering) malam hari, ia selalu melakukannya. Untuk melahap pemandangan indah yang hanya bisa didapat saat perempuan berambut panjang tersebut tidur, untuk merenungkan sekali lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak berani ia lontarkan, untuk mendapati perubahan apa saja yang kekasihnya itu lakukan tiap bulan, yang biasanya hanya berupa potongan rambutnya yang lebih rapi akibat perawatan salon atau jerawat yang sekali-dua kali muncul di wajah, atau—
Bekas kemerahan yang menyebar, yang satu-duanya mulai membiru. Bekas yang seharusnya hanya menjadi tanda bahwa ia telah melakukan hal yang begitu kasar pada Shu. Bahwa sebenarnya ia mengeksploitasi tubuh itu; bahwa ia menggunakannya seperti alat; bahwa ia berusaha menunjukkan teror pada orang yang justru paling ia cintai.
Bahwa binatang liar di pikirannya telah berubah menjadi monster melalui tanda-tanda itu.
Shin hanya ingin menjauh dari Shu. Sejauh mungkin.
Dan mati.
.
.
Terbangun dengan cukup kejutan, perempuan itu segera meraih ujung selimutnya untuk menutupi tubuhnya, bergegas melihat apa yang terjadi—ia memiliki respon yang terlalu bagus akibat masa lalunya, dan ia memiliki pengamatan yang terlalu tajam, akibat apa yang ia terima dulu...
Shu menghela nafas begitu berhasil membuka pintu kamar mandi, tempat yang paling dekat dengan kemungkinan dimana ia sendiri bisa mendengar suara pecah yang sangat jelas dan—
Shin yang terduduk di depan wastafel.
"Shin? Kau baik-baik sa—"
"JANGAN MENDEKAT."
Gerakan tangannya yang tinggal semester lagi dari sang tunangan terhenti. Mata emerald Shin menatap tajam kepingan-kepingan berkilau kaca di depannya—satu-satunya hal yang Shu syukuri saat ini adalah bahwa Shin sama sekali tidak terluka. Tak peduli dengan tatapan bak orang frustasi maupun tubuh tegang Shin yang seolah berada di tengah medan pertempuran, Shu tetap maju.
Saat ia benar-benar tersadar akan apa yang tengah dilakukan, Shu menjatuhkan diri dalam tangan Shin yang telah membentang—merengkuhnya dalam pelukan, seolah-olah apa yang meeka lakukan adalah sebuah keteraturan sistematis, tanpa adanya paksaan dan buatan. Pelukan itu terasa natural meski dbumbui kata 'jangan mendekat' yang Shin bisikkan berkali-kali.
Berpelukan, seperti bahwa itu saat terakhir mereka. Berpelukan, erat-erat.
Shin teringat bahwa meskipun ia adalah seekor monster yang telah menyakiti pawangnya sendiri, monster itu merasakan kesakitan yang sama dengan kesakitan yang telah ia timbulkan. Makhluk buas dan pawangnya itu telah menjadi satu kesatuan.
Cinta di antara mereka tak sehat, dan sama sekali jauh dari kata cinta—kau sebut apa saja seperti obsesi, keterikatan, fanatik, loyalitas, apapun itu.
Dan itulah kami.
.
.
"Dan?"
"Aku membuat kue. Tapi lupa membeli lilin."
"Dan?"
"Itu kue kejutan!"
Suara merajuk Shu akhirnya membuat nalar Shin berjalan juga untuk pertama kalinya dalam jangka waktu dua jam itu. "Jadi, kau mengendap-endap ke depan pintu untuk membeli lilin demi kue kejutan ulang tahunku. Dan karena aku telah sampai di depan pintu, kau bermaksud lewat pintu belakang?"
Satu anggukan ia terima sebagai jawaban.
"…Dasar bodoh."
"Kau—"
Shu tidak sempat membalas perkataan Shin ketika pria itu kembali merengkuhnya ke dalam pelukan lembut; Shin memeluknya penuh penyesalan, dan ia memastikan bahwa segala permintaan maafnya tercurah hanyadalam satu pelukan itu.
Pelukan berarti yang Shu namakan pelukan 'maafkan aku dan tolong tetap cintai aku'.
.
.
Shu adalah kegelapan yang membuat Shin tak tahu kemana arah langkahnya.
Dan itu lebih dari cukup.
.
.
.
FIN
.
.
.
Saya mau bikin drabble kenapa jadinya beda! /efekkemarau
Sebenarnya saya bikin cerita ini murni humor, tapi gimana juga dalam konsep saya Shin itu gelap bin sinting *apanya yang gary-stu, peak*. Dan jadilah cerita rada hurt/comfort nan angst ini orz orz orz
Apapun itu, selamat menikmati karena saya tetep masukin ini ke dalam genre romance! /diserudukebo
Semarang, 18102015
Rabu, 14 Oktober 2015
Our Life in 26 Letters
“I choose and I choose you. Over and over and over.
Without a pause, without a doubt, in a heartbeat.
I’ll keep choosing you”
-Anynomous-
.
.
Our Life in 26
Letters
.
A Drabble Collections
About Shin and Shu, Original Characters of Mine
.
Disclaimer: Characters
are mine, so do the storyline.
Beware: gaje,
typo(s), bunny-jumpy-gaje-storyline!!
.
.
Enjoy!
.
.
A—Air
Kemanapun Shin pergi, kepalanya selalu penuh dengan berbagai
ide tentang bagaimana menghancurkan sebuah kehidupan—kelompok yang tidak menyukainya,
para polisi dan agen negara
yang memburunya, serta sebuah kehidupan yang menurutnya korup—idenya bagai udara tanpa
batas, bahkan tanpa ia perlu kerja keras untuk menentukan sebuah rencana,
tangan dan kakinya sudah bergerak terlebih dahulu dan membuat orang-orang yang
menginginkannya mati malah stres.
Hal inilah yang membuat loyalitas lingkaran inti maupun luar para anak buahnya meningkat;
nyaris obsesi dan fanatik.
Tapi kecuali seorang tangan kanannya yang menjadi negosiator, tak ada yang tahu bahwa
di otak sang pemimpin teroris, seorang Shu selalu hadir—juga bagaikan udara.
.
.
B—Box
Shu menelengkan kepala melihat sebuah kotak berpita yang
ditinggalkan sementara empunya—Shin—entah kemana. Otak lemotnya di pagi hari sontak
mengira itu hadiah untuk mitra Shin, atau kado ulang tahun (tapi ulang tahun Shu
sudah lewat, bukan?), atau…bom?!
“Moshi-moshi, Shin?Sepertinya kau meninggalkan bom di kamar tidurmu
sendiri—itu, yang ada pita merahnya… itu bom, ya?Pasti itu bom!?”
“…itu jam tangan untukmu, Shu. Kemarin kan kau bilang ingin
jam itu.”
“KENAPA KAU BUNGKUS SEPERTI ITU?! KAU KAN TAHU KEBIASAAN
PAGI HARIKU YANG LAMBAN SEPERTI PENYU!!”
Di seberang telepon, Shin hanya bisa mendengus pasrah—pasrah
karena keromantisan yang buyar, sementara klien yang di depannya malah memperhatikan
wajah kesalnya (akibat sebab sebelumnya) bak calon mangsa beruang ganas.
.
.
C—Cool
“Kenapa—,” jeda, “—Tuan Shin bisa tertawa lepas ketika dengan perempuan
ITU”—jari telunjuk Hanna menunjuk terang-terangan Shu yang dengan cuek berada
di markas teroris tunangannya—“sementara beliau berlagak dingin di depan kita?!”
Brown yang sama
netralnya (bahkan bawahan rendahan Shin pun tahu tentang perseteruan antara
Hanna—yang naksir berat Shin tapi cuma ditanggapi dengan dengusan—dan Shu—perempuan
yang sudah jelas mendapat tempat khusus dalam berbagai artian di kehidupan
Shin) dengan penasihat Shin, Youo, hanya bisa menghela nafas bak senam
waitankung jika sudah menyangkut Hanna yang sewot. Kadang dia membatin,
sebenarnya gadis pirang ini sadar tidak sih
dengan arti kata ‘tunangan’?
Dan biasanya jika sudah seperti ini, Brown hanya
menjawab simpel, “itu namanya cinta, Hanna. Bagaimana jika kau mencari
laki-laki cool yang akan tertawa
lepas hanya jika bersamamu?”
Peluru Hanna
nyaris mengenai kepala Brown jika ia tidak segera tiarap.
.
.
D—Daughter
Shu, tanpa diketahui banyak khalayak, sebenarnya adalah putri
salah satu mitra kerja Shin yang paling berharga, dan sama berbahayanya dengan
Shin sendiri. Hanya saja, karena ia tidak pernah mengungkapkan nama
belakangnya, tak ada orang yang berminat untuk menjadikannya sasaran kelemahan
kelompok Shin—kecuali fakta bahwa dia adalah tunangan sang gembong teroris.
“Mereka tidak tahu kalau kau berada di level yang sama
denganku dalam hal kegilaan dan kekejaman.”
“Mereka juga tidak tahu kalau aku berada di level yang sama
denganmu dalam hal kemampuan memasak.”
Untuk pertama kalinya, Shin menjitak kepala sosok yang
paling berarti untuknya.
.
.
E—Eternal
“Aku tidak percaya pada keabadian.”
Shu merengut sebelum meletakkan kembali buku dongeng yang
dibelinya suatu hari.Ia menyukai kisah pangeran dan putri, meski sudah dewasa.
Tapi Shin hanya mendengus mengejek tiap melihatnya asyik dengan khayalan dan konsep
happy ever after-nya. Dasar teroris pesimis,
begitu yang dikatakan Shu untuk menanggapi.
“Jadi kau tidak percaya kesetiaanku abadi sekalipun aku mati?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kalau kau mati, aku yakin kau bakal jadi hantu demi selalu bersamaku,
dan aku tidak suka hantu. Jadi, tidak.”
Kadang, logika Shin terlalu nalar hingga rasanya Shu ingin meledak
tertawa.
.
.
F—Found
Butuh waktu lama bagi Shin untuk menemukan Shu.Ia harus kehilangan
sebelah mata dan telinganya terlebih dahulu, menjalani kehidupan bak anjing
liar, menjadi pembunuh, pengebom, buronan, dan hal kriminal lain sebelum bertemu
dengan perempuan yang bahkan tidak tertarik berbuat jahat sedikitpun.
Butuh waktu lama pula bagi Shu untuk memahami Shin; ia nyaris
mati akibat bom rakitan Shin, jadi sandera, diburu kelompok yang membenci Shin,
dan menemui orang-orang yang selama ini merusak hidup laki-laki tersebut.
Mereka menemukan satu sama lain, dan entah bagaimana tak ingin
melepaskannya lagi.
.
.
G—Gaze
Bagi seluruh kepolisian dan agen keamanan negara yang
menjadi musuh alami Shin, tatapannya memberikan kesan berbahaya—setengahnya
gila, seperempatnya obsesi, dan sisanya adalah tatapan orang yang telah
dikhianati dunia.
Bagi Shu, tatapan Shin hanya memberinya dua kesan—keamanan
dan kenyamanan.
.
.
H—Height
Shu termakan karma.
Dulu dia selalu berkata bahwa dia menyukai laki-laki tinggi.
Tapi dengan tinggi badan 170 sentimeter tanpa tambahan semili pun, Shin mampu membuatnya
jatuh cinta hingga terbawa mimpi.
“Padahal aku menyukai pria tinggi…apa aku harus membelikanmu
obat peninggi badan?”
“Ngomong begitu kalau kau sudah bertambah sesenti lagi, Nona
Seratus Lima Puluh Sentimeter.”
Malam itu, butler kediaman
Shin harus menyiapkan satu kamar tidur dadakan untuk majikannya sendiri,
diikuti dengan teriakan Shu tentang teroris pendek dan laki-laki tidak berperasaan.
.
.
I—Illness
Dokter Söh, satu-satunya dokter yang bekerja untuk Shin,
mengatakan bahwa Shin itu menderita sakit—kelainan jiwa yang parah, yang bahkan
tak ada obatnya. Karena jika ditelusuri, maka semuanya berawal dari seluruh
kehilangan yang ia rasakan saat remaja, dan merupakan sakit paling parah yang
pernah diterima remaja manapun di dunia.
Ketika melihat Shu, Dokter Söh mencabut kembali
pernyataannya dan mengamini doanya sendiri.
.
.
J—Justification
Semua yang telah merebut sesuatu yang bukan miliknya, akan
menerima karmanya—atau begitulah pemikiran yang ditelan bulat-bulat Shin, dan
dia merasa telah menerima karmanya. Ia menerima ilmu yang bukan diajarkan oleh
ayahnya, dan sekarang ia kehilangan baik orang yang member ilmu padanya maupun
ayahnya sendiri; ia menghancurkan orang-orang yang telah membunuh
‘keluarganya’, dan sekarang ia diburu orang-orang yang menginginkan
kematiannya.
“Kalau aku memilikimu, apa nantinya kau akan menjatuhkan
karma padaku?”
Tapi pertanyaan itu hanya bisa diucapkannya saat Shu
tertidur lelap. Shin terlalu takut untuk mendengar jawabannya.
.
.
K—Kill
“Aku hanya ingin membunuh semuanya; siapapun yang
menghalangi jalanku, aku akan menghancurkannya.”
Dan sumpah sinting yang Shin ucapkan lima tahun yang lalu
tak pernah ia lupakan sedetikpun.
Saat Shu kembali mendengarnya dari mulut Shin ketika Shin
memeluknya erat, ia hanya bisa membungkam bibir kekasihnya dengan ciuman. Shu
tidak tahu mengapa ia melakukannya; ia hanya merasa terlalu banyak hal pedih
yang Shin siratkan dalam sumpahnya tersebut.
.
.
L--Lonely
Terhitung tepat dua bulan sejak para dokter pribadi
menyatakan Shin koma. Meski kondisinya stabil dengan kinerja otak yang sama
sekali tak terganggu, nyatanya pria itu tak kunjung bangun. Dan tentu saja tak
ada pekerjaan apapun yang bisa dilakukan para anak buahnya selain check & re-check yang biasanya—tapi
bukan berarti Shu tak memiliki apapun untuk dikerjakan. Justru saat-saat itu ia
paling sibuk: mulai dari mengatur pertemuan sebagai pengganti Shin (walau tentu
saja yang melakukan pembicaraan adalah Brown), menjaga Shin, merawat kecapi
favorit sang teroris, dan lain sebagainya.
Tapi sesibuk apapun, Shu akan tetap sendirian saat malam
tiba; ia bahkan sering mendapati dirinya memandangi wajah tidur Shin,
menggumam-gumam sendiri. Ia mengalami kesepian, kata Youo.
“Bangun Shin, kau bertanggung jawab membuat air mataku
kering dan mengobrol sendirian seperti orang gila,” gumamnya suatu hari di
bulan ketiga.
Shin tak pernah mengatakan bahwa dia mendengar segala
gumaman Shu meski tubuhnya tak bisa bereaksi, dan ia bahagia mendengarnya.
.
.
M—Moon
Setiap malam bulan purnama, Shin selalu menggelar meja di
jendela terdekat dengan view satelit
bumi terindah dirumahnya, kemudian membuka wine terbaiknya dan memulai acara
‘menatap bulan semalaman’ favoritnya. Shu menyukai bulan, tapi ia tak kunjung
mengerti tentang kemaniakan Shin soal bulan. Mungkin karena cahaya temaramnya
yang member kesan mistik dan adiktif dalam waktu bersamaan, atau kecantikannya
yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, atau—
“Kau yang berada di bawah cahaya bulan adalah pemandangan
terindah dimana wine terbaik baru boleh diminum.”
Shu tidak tahu Shin belajar menggombal darimana.
.
.
N—Natural
Jika dianalogikan, maka mereka berdua adalah bulan dan
bintang.
Meski pria beriris emerald itu lahir di bawah naungan
matahari, ia justru mampu tetap berkilau di malam hari dengan memantulkan
cahaya sekitarnya, kemudian menggunakannya untuk dirinya sendiri. Tak ada orang
yang tak mampu dipikatnya dengan kilaunya; kesan misterius dan temaram yang
dibawanya bahkan memikat musuh-musuhnya sekalipun.
Kebalikan Shin, Shu adalah bintang yang berpendar di
kejauhan; ia tak pernah disadari kecuali bahwa orang itu menggunakan teleskop.
Tapi ia selalu di sana, dan kemilaunya yang kecil itu justru menjadi pegangan
setiap orang dalam kehidupannya.
Terkesan sama sekali tak berhubungan. Tapi bagaimanapun,
mereka begitu alami menarik orang-orang untuk mengitari mereka—mengaguminya,
menyanjung, kemudian menjadikan mereka petunjuk kehidupan.
.
.
O—Over
Tidak ada bayangan bahwa seorang Shin akan melakukan semua
ini; menikah, menjadi suami, menjadi ayah, dan menjadi seorang kakek dari
beberapa cucu yang manis. Tidak ada semua cita-cita semuluk itu, terutama saat
ia akhirnya melihat bagaimana seorang perempuan setangguh Shu kalah dengan luka
bakar yang mendera separuh tubuhnya. Shin menyerah seketika itu juga. Ia
menyerahkan seluruh impian dan bahkan keinginannya untuk menghancurkan dunia.
Tercenung, berhari-hari, bahkan ketika semua orang telah
pergi.
Tercenung, berbulan-bulan hanya untuk menatap kosong tulisan
‘Here lies, Shu’ tanpa ada satu kata
tambahan romantispun. Bagi Shin, itu tak ada gunanya.
Karena kehidupannya berakhir hari itu juga, bersama siapa
yang terbaring disana.
.
.
P—Proccess
Semua hal butuh proses—bahkan alam semesta pun butuh proses
untuk tercipta hingga saat ini, bukan?
Sama halnya dengan hubungan mereka berdua. Semua proses
mereka jalani; saling mengenal, saling memahami, saling melukai, saling mengerti,
dan saling memiliki.
“Cuma satu yang belum
kita lalui.”
Shin mengernyitkan dahi dengan pernyataan tunangannya, “apa itu?”
“Saling mendukung; kau tak pernah mendukungku untuk mengikutimu
sampai mati.”
Shin cuma bisa blushing
ala tsundere.
.
.
R—Refreshment
Hari ini Shin membeli air-refreshment
yang mampu membuat udara menjadi sesegar saat seseorang berada di tengah
hutan hujan tropis.
“…”
“Shin, ada yang kau pikirkan?”
“Aku masih merasa pikiranku belum tersegarkan.”
“Itu tandanya kau harus pulang dan memeluk Shu erat-erat.”
Shin kadang mengingat-ingat lagi kapan, dimana, dan alasan
dia bisa menemukan negosiator setanggap Brown.
.
.
S—Spider
“Shin,” kepala Shu melongok takut-takut dari balik pintu,
“ada laba-laba di kamarku.”
“Bukannya kau sedang marah padaku?”
“Tapi aku takut laba-laba.”
“…Kau boleh tidur disini kalau mau, tapi aku akan tetap
sibuk dengan notebook-ku.”
“…Iya deh…”
Jika bisa dilakukan, Shin akan memberikan jutaan poundsterling pada laba-laba itu. Atau
sarang raksasa untuknya—yang setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya Shin malah
tidak menginginkan ratusan laba-laba di rumahnya nantinya membuat perempuan
yang ia cintai histeris.
.
.
T—Terror
Ancaman pembunuhan, pemboman, perdagangan senjata dan
obat-obatan illegal yang mereka sebarkan merupakan hal nomor satu yang paling membuat
pihak anti teroris yang ada di setiap Negara kelimpungan. Belum lagi dengan
nama kelompok dan berdirinya Shin di depan sasarannya saja mampu membuat seribu
agen keamanan melakukan pengamanan ketat di tempat yang bersangkutan. Semua itu
merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka, dan begitulah cara mereka eksis di
dalam sudut gelap hati tiap orang.
“Tapi mereka akan semakin ketakutan jika pernah merasakan
telur dadar buatan Shu. Mereka akan dilanda terror seumur hidup.”
“Shin, kau belum pernah makan batako bakar, kan?”
Brown hanya bisa ber-sweatdrop
melihat bosnya yang biasanya ‘sinting’ langsung takluk pada ancaman calon
istrinya sendiri.
.
.
U—Unbelieveable
Semua orang yang mengenal baik Shin yang dulu maupun yang
sekarang pasti tak akan pernah percaya dengan perubahan drastis dirinya, dari
calon penerus keluarga kaya-raya yang baik-baik menjadi teroris berdarah
dingin.
Sekarang, justru semua anak buah Shin yang tidak percaya
perubahan drastis tingkah laku Shin saat bersama mereka dan bersama Shu, dan
nantinya lebih tidak mempercayai depresi berat yang melanda bos mereka
gara-gara seorang Shu.
Yah, namanya juga cinta.
.
.
V—Venice
“Kalau aku bisa kesana, aku akan naik gondola sambil
menikmati gelato terenak se-Venice, kemudian minum latte legendaris di lapangan San Marco yang indah, kemudian pergi
ke Libreria Acqua Alta—“
“Kau tidak boleh kemana-mana selain ke hotel Venetian lantai
teratas kalau tujuanmu cuma makan.”
“Aku dari kemarin ingin tanya, Shin; kau cemburu pada
makanan juga?”
Shu menyesal habis-habisan kenapa dia bisa-bisanya menjahili
Shin saat malam hari dimana si teroris itu tengah menatapnya seperti serigala
kelaparan.
.
.
W—Who
“Siapa perempuan berambut pirang yang selalu genit padamu itu?”
“Maksudmu Hanna? Dia hanya lingkaran inti anak buahku, sniper. Ada masalah?”
“Masalah?!” Shu mendengus, “Masalah, jika dia menghabiskan sebagian
besar waktunya di SAMPINGMU—secara harafiah—ketimbang menjalankan tugasnya.”
“Heh, kau cemburu? Shu, kau tunanganku, buat apa kau cemburu?”
Shin menyumpahi dirinya sendiri untuk tidak mengatakan
kalimat itu lagi setelah melihat air mata mulai berlinang di mata sang
tunangan. Belakangan ini Brown, negosiatornya, mengoreksi bahwa seharusnya ia menjawabnya
dengan janji, bukannya dengan bertanya balik.
Apalagi kalau pertanyaannya berawal dengan kata ‘siapa’.
Apalagi kalau pertanyaannya berawal dengan kata ‘siapa’.
.
.
X—Xenophobia
Shin anti pada orang asing; ia bahkan mengacungkan belati
atau senjata apapun yang kebetulan dibawanya tiap kali ia berhadapan dengan
orang asing yang membuatnya kesal (tentu saja pengecualian pada anak buah dan
mitra kerjanya sendiri).
Fobia menjadi-jadi saat ia sudah bertemu dengan Shu.
Shin makin anti pada orang asing. Apalagi jika orang itu
sudah menatap Shu lebih dari lima menit; jaminan aka nada suara dentingan logam
tajam yang dicabut dari tempatnya (dan Youo yang mati-matian menahan bosnya
agar tidak membunuh orang sembarangan).
.
.
Y—Years
Sudah berapa tahun sejak pertama kali perkenalan mereka, eh?
“Setahun sebelas bulan lima belas hari sebelum kau
menjadikanku pacarmu, dua tahun lima bulan tiga minggu dua hari sebelum kau
menyematkan cincin pertunanganmu di cincinku, dan dua bulan tiga minggu lima
hari sebelum aku mengenal seluruh anak buah yang katamu adalah bagian
kehidupanmu, jadi—“
“Aku tidak akan pernah menghitung hari serinci itu jika aku
jadi kau.”
“…mau kuberitahu berapa kali kau melupakan ulang tahunku dan
hari jadi kita selama empat tahun itu?”
Shin cepat-cepat menelepon Brown untuk menyiapkan hadiah
ulang tahun—semahal apapun itu—sebelum melihat amukan tunangannya.
.
.
Z—Zero
“Dari satu sampai sepuluh, berapa nilaimu untuk
kecantikanku?”
“Nol.”
“Kenapa?”
“Kau sama sekali tidak cantik.”
Shu merengut dengan jawaban tidak memuaskan Shin—dia sadar
bahwa Shin memang tidak pernah memujinya cantik atau manis. Untuk sekedar
ternganga kagum ketika ia mengenakan gaun pun tidak. Seolah pria itu sering
melihat yang jauh lebih cantik saja.
Setelah Shu pergi, Shin kembali melanjutkan percakapannya
dengan Brown masih dengan bayangan reaksi pria di sekitar Shu setiap kali
perempuan itu berusaha tampil cantik—dan seketika nyaris kehilangan kendali
emosi.
“Shin,” Brown melongo, “kau cemburu pada siapa lagi?”
.
.
"See? I'll keep choosing you,
because from the beginning of my life.
you are the life itself"
-Anonymous-
.
.
.
Fin
.
.
.
Langganan:
Postingan (Atom)